Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review Film 'Milea: Suara Dari Dilan'



"Tiada kisah paling indah, Kisah-kasih di sekolah". Sepenggal lirik dari Alm Chrisye yang cukup menggambarkan franchise Dilan bahwa film ini tidak cocok untuk semua kalangan. 'tidak cocok' dalam arti; ketika banyak yang membenci franchise ini, bukan karna teknis atau storytelling, melainkan karna hal bucin atau cringy lainnya — parahnya ada sekadar ikut-ikutan agar terlihat 'elit' meski belum nonton — Padahal, kunci dari seri Dilan ini cuma satu; 'relatable'. Memungkinkan hanya relate bagi generasi milenial yang merasakan momen romansa di masa sekolah layaknya lirik Chrisye. Jadi bagi yang tidak menikmati film ini ya fair-fair saja, mungkin mereka tak pernah merasakan momen romansa di sekolah ataupun tak tahu bagaimana sulitnya berkomunikasi dengan pasangan pada waktu itu. Film ini segmented sih, jadi yang nggak pernah bucin di sekolah, minggir dulu ya hehe.

(PERHATIAN: Ulasan ini panjang nan mendalam, namun bebas dari spoiler)


Sejak debutnya 2018 lalu di "Dilan 1990", banyak kontra berbondong bondong datang ke film ini sebelum rilis. Terutama pada pemeran Dilan itu sendiri, banyak yang meragukan Iqbaal karna sepak terjangnya yang di elu-elu kan 'alay', tertanam dibenak penonton dan lebih menjagokan Jefri Nichol. Ketika ekspektasi jadi dasar utama penonton film "Dilan 1990" pada saat itu. Bahkan termasuk aku yang berusaha tutup mata akan skeptisan hal itu dan fokus pada filmnya. Yang ternyata pada akhirnya drama romansa remaja adaptasi novel ini bisa dikatakan mengejutkan karna film sereceh ini bisa diolah dengan cukup bagus. Meski tetap ada yang masih menilai tidak sedemikian sama.


Dan sekarang di "Milea: Suara Dari Dilan", dua sejoli ini jauh lebih dewasa. Kalian yang menganggap 2 film sebelumnya terkesan menye-menye, harapanku selanjutnya mengubah mindset kalian yang membenci franchise Dilan. Karna dalam kisah mereka kali ini bukan lagi tentang sepasang muda-mudi SMA yang kembali berpacaran, melainkan suara hati Dilan yang tertuang selama menjalin asmara dengan Milea. Fanatisme terhadap Dilan mungkin tak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun, getar-getir manis Dilan-Milea masih membangkitkan rasa penonton, mengobati patah hati menyaksikan keputusan mereka di film sebelumnya. Ruang kosong cerita pertama dan kedua terjawab dalam trilogi penutup, Milea: Suara dari Dilan.


TENTANG KLARIFIKASI PERSPEKTIF DILAN


Film "Milea: Suara Dari Dilan" merupakan film penting dari trilogi Dilan. Di dua film sebelumnya "Dilan 1990(2018)" dan "Dilan 1991(2019)", kamu hanya mengetahui kisah cinta Dilan-Milea hanya dari sudut pandang Milea, namun berbeda dari film ketiganya ini karena semuanya diambil dari perspektif Dilan. Film ini akan membawamu pada pemikiran Dilan yang sebelumnya belum sempat kamu tahu. Penonton diajak lebih mengenal Dilan secara personal, setelah sebelumnya digambarkan dari pikiran Milea terhadapnya. Di sini Dilan akan bercerita banyak. Bukan hanya dirinya saat bertemu Milea, tapi sejak awal kehidupannya dan juga kehidupan pertemanannya.




Dilan tidak sama lagi seperti di film pertamanya yang begitu 'one dimensional'. Kini karakternya berlayer; sudah terlihat bagaikan manusia yang nggak cuma jago gombal tetapi juga bisa marah, kecewa, egois, childlish, dan pergolakan batin lainnya yang mana dia harus memilih Milea atau sahabat-sahabatnya di geng motor. Dalam film ini kita melihat sisi rapuh dari sosok Dilan, ada momen dirinya yang benar-benar hancur dan sedang butuh Milea, namun Milea selalu menghindar karena marah Dilan masih dengan teman-teman geng motornya.


Saat Dilan dan Milea putus menjadi momen paling berat bagi Dilan. Begitupun Milea, masing-masing dari mereka masih memendam rindu namun terasa sulit untuk diucapkan. Hingga akhirnya Dilan mundur dan menghilang. Secara cerita, sudut pandang Dilan memang membuat cerita Dilan-Milea jadi lebih lengkap. Setidaknya, hal itu memberikan ruang 'pembelaan' kepada Dilan bahwa masalah antara dua remaja itu tak sepenuhnya salah pria muda itu semata. Semua lubang kosong dari film "Dilan 1990" dan "Dilan 1991" menjadi terisi di film ini. 

NO GOMBAL NO CRINGEY, HANYA KEDEWASAAN DAN HARU BIRU


Kisah Dilan kali ini pun mampu menggambarkan hubungan ayah dan anak lelaki, serta anak lelaki dan ibunya. Bagi pembaca novelnya, tentu tahu kepergian ayah Dilan dan saat Dilan-Milea berteleponan pasca putus merupakan 2 momen yang akan membuat tersedu-sedu. Dan disini cukup berhasil diinterpretasikan ke dalam visual, serius, tidak sedikit orang-orang yang disebelahku menyeka air mata, termasuk aku yang menganggap 2 scene itu yang paling mengoyak perasaan. Film ini teramat emosional, visual drama cerita yang dibangun di film ini mampu membuat haru seisi bioskop. Tak lagi cinta remaja melulu, Milea: Suara dari Dilan juga berkisah tentang keluarga sebagai 'support system' utama.


Jika kita lihat di film pertama, penuh lontaran gombalan yang menggemaskan. Film kedua konflik muncul, mereka canggung dan emosi. Nah di film ini masing-masing mencoba mengungkapkan perasaan rindu tapi sulit karena kini hanya sebatas mantan. “Benar kata kamu ya, Rindu itu berat” ucap Milea. Tentunya kamu yang mengikuti perjalanan cinta keduanya akan merasakan apa yang Dilan rasakan, rindu, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Kamu akan merasakan bagaimana Dilan yang ambisius, berubah lebih tenang dan bijak begitu juga Milea yang gengsian, berubah jadi lebih berani. Selain itu, film yang sebagian besar berisi tentang kenangan ini akan diiringi dengan lagu "Dan Bandung" yang merupakan kolaborasi The Panasdalam Bank dengan Danilla Riyadi. Percayalah lagu tersebut sangat merepresentasikan bagaimana kisah Dilan dan Milea.


KEKURANGAN YANG BEGITU TERASA, NAMUN MEMILIKI SISI POSITIF


Mungkin kekurangan yang paling menonjol dalam film ini cuma 1; terlalu malas. Bayangin, sekitar 70% pake footage di 2 film sebelumnya — modal ganti voice over Dilan — serta 30% pake potongan gambar baru, itupun diparuh akhir. Terlalu menumpuk dan memakan durasi hampir seperempat dari total waktu berjalan. Jika pembelaannya demi mengikuti sumber aslinya yang juga sama-sama 'pengulangan cerita', jelas tidak etis karna buku dan film adalah dua medium yang berbeda. Berhubung film ini dibuat bersamaan dengan Dilan 1991, tak semena-mena hanya menyomot footage di film sebelumnya — minimal mengganti angle saja cukup.


Tak hanya malas dalam pengambilan gambar, detail teknis hingga peran tiap karakter tak mengalami perubahan berarti. Kurang memuaskan ketika menyaksikan masa depan Dilan dan Milea kembali bertemu di usia yang terbilang matang. Tak ada pengembangan atau perubahan yang terjadi secara fisik dan penampilan dari keduanya. Hanya Dilan ditampakkan memiliki hati kesatria yang ikhlas melihat Milea bersama pria lain.




Akan tetapi, setidaknya ada sisi positif dalam kekurangan tersebut. Selain menyegarkan momen-momen penting mulai dari Dilan yang datang ke rumah Milea sebagai utusan kantin sekolah hingga menelepon di telepon umum dan berkata “Jangan rindu, berat”. Flashback di perspektifnya Dilan juga bikin ngebangun ulang chemistry mereka lagi dari pacaran sampai berpisah. Sehingga ketika mereka bertemu lagi disitu tidak tanggung-tanggung, momennya benar-benar pecah.


Dan untungnyapun, agar adegan ulangan tersebut tak membosankan dan terkesan membuang-buang durasi film, ditambahkan beberapa adegan yang di film sebelumnya cukup menjadi tanda tanya. Adegan-adegan seperti, kemana Dilan pergi setelah ia selesai mengantar Milea pulang ke rumahnya. Selain adegan tambahan dari flashback yang cukup baik, banyak pula adegan lain yang menambah makna dan cerita film ini semakin kuat. Background keluarga Dilan juga cukup menambah segar film ini, meski tak semua anggota keluarga Dilan mendapat porsi adegan yang cukup.

FILM TERAKHIR YANG TAK BENAR-BENAR BERAKHIR

"Milea: Suara dari Dilan" disebutkan sebagai trilogi penutup. Bukan tidak mungkin ada cerita lanjut. Sebab, jika Milea ditampakkan bersama Mas Herdi, Dilan perlu menceritakan satu karakter lagi yang belum dimunculkan. Karakter ini cukup penting. Yap, dia adalah Anchika, kisahnya bersama perempuan yang pernah ditemui digadang-gadang akan menjadi tambatan hati Dilan. Bagi penggemar kisah dari pena Ayah Pidi Baiq, film "Milea: Suara dari Dilan" bukan benar-benar akhir dari sejak alkisahnya.

Bagi pembaca, ada kemungkinan terbagi dalam dua kelompok. Penonton yang puas melihat kisah ini hanya fokus milik Dilan-Milea, dan penggemar novelnya yang mempertanyakan kehadiran Anchika. Di novel, Anchika memang sudah diceritakan sedikit. Pidi Baiq pun udah mengonfirmasi untuk menulis novel Dilan yang Bersamaku yang ceritanya dari sudut pandang Anchika.



Sumber: @pidibaiq

Jadi, walau kisah cinta Dilan dan Milea sudah benar-benar berakhir, tapi soal film secara keseluruhan, mungkin tiga film yang sudah rilis tiga tahun terakhir ini baru setengah jalan dari keseluruhan cerita cinta seorang panglima tempur bernama Dilan. Bahkan di akhir film pun ditulis kalimat yang menandakan jika bisa jadi film soal Dilan masih akan dilanjutkan.


PERSOALAN YANG KERAP TERJADI DALAM SEBUAH HUBUNGAN


Secara keseluruhan, film yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq dengan judul yang sama ini merupakan seri ketiga yang jauh berbeda dan lebih dewasa dari dua seri sebelumnya. Seperti kontras dari 2 film sebelumnya yang mana disitu penuh dibikin senyum nan memyernitkan dahi. Tapi di film ini terlalu banyak momen haru. Dengan kata lain film ini adalah filosofi patah hati di mata pria atas perspektifnya Dilan dengan segala klarifikasinya.


Mampu membawa penonton untuk merasakan kisah cinta mereka berdua, bahkan ikut bersedih saat keduanya harus merasakan perpisahan hanya karena sebuah kesalahpahaman. Perpisahan Dilan-Milea pun pada akhirnya tergambar dengan jelas hanya karena emosi labil remaja dan gengsi semata, yang berujung penyesalan ketika sudah beranjak dewasa. Hal itu terlihat dari rasa dan kenangan yang masih terlihat dari keduanya meski sudah memiliki pasangan masing-masing. Tidak ada yang begitu spesial kecuali akhir dari kisah mereka berdua.


Nonton ini seperti perjalanan spritual yang rasanya kaya menertawakan sekaligus menangisi kebodohanku di masa lalu, masa sekolah. Yang kadang sampai sekarang masih suka mikir "kalau aja dulu" "kenapa ya dulu", tapi apapun yang terjadi emang itu yang harus terjadi — njirr curhat. Karena pelajaran yang dapat dipetik dalam film ini yaitu hubungan mungkin ada banyak kesalahpahaman sehingga 'komunikasi' itu sangat penting bagi keduanya.


Pergi dan temui orang yang kamu cintai. Maafkan dia. Maafkan dirimu. Sebelum terlambat. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada hidup orang lain. Terkadang kita yang selalu merasa kesakitan. Tapi apakah kita tahu kalau orang yang kita cintai juga baik-baik saja?


"Jangan sedih karena berpisah. Tapi bersyukur karena pernah ada"  
— Iqbaal R.


Edo Ricky
Edo Ricky Tergila-gila dengan film sejak mulai bisa berfikir.

Post a Comment for "Review Film 'Milea: Suara Dari Dilan' "