Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review Serial 'Sweet Home': Drakor Termahal Netflix Rasa Sinetron


R̶e̶v̶i̶e̶w̶ everything wrong with "Sweet Home" (2020)

Disclaimer: tulisan ini mengandung spoiler berat karna mengulas secara detil dan terperinci. Bagi yang belum nonton boleh di-skip. Tetap keukeuh? Silahkan, resiko ditanggung sendiri.

Serial drama Korea berjudul Sweet Home, belakangan ini telah berhasil mencuri perhatian banyak orang dan tidak henti-hentinya diperbincangkan para penikmat drakor.

Rasa penasaran saya pun kian bergolak ingin membuktikan sebagus apasih serial ini, sampai terus-menerus jadi trending. Ternyata setelah selesai menghabiskan 10 episode, saya jadi paham maksud kata 'bagus' bagi mereka menjadi arti bagus untuk saya meminum obat migrain. Karna fix, serial ini bener-bener bikin sakit kepala.

Sweet Home merupakan serial yang overrated. Memakai formula per-zombie-an yang klise hanya saja diganti dengan tema monster. Selain itu, plot juga inkoheren, banyak sekuen lebay, CGI bikin sakit mata, musik norak dan pace dragging sepanjang episode.

Bukan.. Bukan karna saya tidak membaca webtoon-nya, bahkan saya tidak perlu membandingkannya dengan webtoon. Sebab, jika suatu adaptasi ada kekurangan dan diharuskan untuk melihat sumber aslinya, maka artinya sang sineas dikatakan gagal karna tidak dapat mempertahankan keutuhan esensi ceritanya sendiri.

Cuplikan Sweet Home dari sumber aslinya; Webtoon.

Suatu karya film maupun serial, harus bisa berdiri sendiri di luar bahan utamanya. Film adalah film, sedangkan buku atau komik itu medium yang berbeda. Banyak hal yang membatasi kita ketika menikmati medium tersebut. Jadi jangan pernah coba-coba untuk membandingkan ketika karya adaptasi yang kalian amat cintai sumber aslinya berakhir mengecewakan. Contohnya kayak "yah, ini kok nggak mirip bukunya sih" "ini film jelek, karakternya beda sama komiknya", well.. don't do that.

Oke, balik ke pembahasan utama. S̶e̶b̶a̶g̶u̶s̶ seburuk apa sih serial ini?
  • ADEGAN LEBAY KAYAK SINETRON LOKAL

Saya memang bukan pecinta drakor, tapi sinema Korea apa emang gini ya suka berlebihan dalam mendramatisirkan adegan? Contohnya kayak adegan kematian Jae-Heon. Sumpah, itu adegan yang paling lebay. Ngelawan musuh aja mesti kali tatap-tatapan dulu dalam waktu yang lama, 11 12 lah sama sinetron Indo. Apalagi adegan kematian Jae-Heon yang seharusnya bisa diantisipasi dengan mudah. Gimana nggak coba? Monster yang dilawannya itu nggak sesusah monster yang segede gaban itu loh (yang sebelumnya bisa ditebasnya dengan mudah).

Sekuen kematian Jae-Heon

Niatnya pengen jadi 'die a hero' tapi jatuhnya cringe dan nggak masuk akal. Mana lagi kawan-kawannya cuma bengong nontonin doang. Iya saya tahu mereka udah lama nggak nonton tv, tapi nggak gitu juga dong ngelihatin kawannya struggle mati-matian sendiri sampai tangannya buntung, setidaknya ada usaha dikit kek. Ini malah leader-nya sendiri pun sempat-sempatnya ber-pose 'cool' dengan tangan dimasukin ke kantong sembari diem nontonin kawannya mati. Parah banget sih, dikira lagi photoshoot model kali ya. Buruknya lagi, adegan kayak gini tuh nggak cuma satu doang.
Saya tidak sendiri, kritikus kondang di Youtube juga mengatakan hal yang sama. Sumber: Cinema Summary
  • CGI BIKIN SAKIT MATA

Iya iya saya tahu kok gimana susahnya bikin CGI dan saya juga lihat BTS-nya dimana dedikasi mereka dalam menggunakan practical effects laiknya Jurassic Park. Tapi untuk standar sekarang dengan teknologi yang semakin canggih, CGI Sweet Home terlihat usang. Apalagi serial ini menjadi proyek drakor termahal Netflix loh sejauh ini. Bayangin ngehabisin biaya lebih dari 30 miliar won atau sekitar Rp 380 miliar, untuk ukuran serial yang harusnya bagian di CGI bisa dipermak lagi muluk-muluk mendekati Hollywood dah, nggak seburuk ini yang jauh banget.

See this sh*t and then ask yourself, why CGI is getting worse, not better?

Udah gitu pede pula filmmaker-nya ngomong "kami ingin nunjukin bahwa kami bisa bikin CGI yang lebih dari Hollywood" dilansir The Swoon. Like WTH? CGI kayak naga Indosiar aja sok-sok'an bilang lebih dari Hollywood, lebih dari TV baru setuju. Padahal ironinya, untuk efek khusus ini ditangani oleh Legacy Effect yang sebelumnya garap beberapa film Hollywood seperti AvengersAvatar, dan Hellboy. Tapi ngapa nggak ngefek sama sekali ya?

  • GENRE HOROR YANG NGGAK ADA HOROR-HORORNYA

Efek CGI ini pun berimbas pada unsur thriller atau horornya. Mungkin saya harus akui untuk hal teknis lainnya cukup jempolan mulai dari art departement yang horror artsycolor grading hijau merah menawan, dan sinematografi statis dengan pem-blocking-an pas even dalam tempat sempit, dimana ke semua unsur tersebut berhasil membangun kesan yang 'cukup' menegangkan.

'BAKEKOK!' satu-satunya momen horor yang bikin spot jantung, yakni jumpscare murahan.

Tapi ni yaa.. Tapi.. disetiap monsternya muncul itu langsung merusak momen ketegangannya seketika. Bulu kuduk yang udah naik nih langsung loyo dan malah beralih ke perut yang jadi keram karna ketawa habis-habisan ngelihat monster yang super duper cringe. Monster yang jadi poin utama cerita ini malah nggak ada wibawa-wibawanya, yang ada konyol. Belum lagi ketimpangan logic dimana manusia beralih ke monster secara acak tanpa alasan yang jelas. Bisa gitu ya henshin jadi monster yang edgy, sampai hilang bentukan humanoid-nya.
  • SOUNDTRACK YANG NORAK

Saya benar-benar nggak paham kenapa kok mereka terobsesi kali sama Imagine Dragons. Setiap adegan klimaks, pasti diiringi lagu Warriors-nya Imagine Dragons. Dan itu di ulang-ulang mulu, bukan karna lagunya nggak enak, tapi nggak match cenderung ngebosenin kayak (lagi-lagi) tipikal sinetron Indo, satu lagu diputar terus. Padahal faktanya ya, tontonan yang sekalipun buruk kalau soundtrack-nya tepat, itu setidaknya bisa ngangkat dikit ataupun nyelamatin show dari keterpurukan loh. Contohnya kayak Suicide Squad atau Fifty Shades of Gray yang soundtrack-nya bertenaga banget untuk ngisi adegan.

Padahal pakai scoring aja mah jauh lebih intens. Kayak Game Of Throne dimana musik menentukan suasana hati untuk adegan, ataupun film-film yang di-composed Hans Zimmer ngebuat scoring yang ikonik untuk diingat sesama penontonnya. Ini pun ya malah scoring-nya Sweet Home itu super lebay, lagi tatapan doang mah musiknya udah kayak orang mau meninggal. Oh God..


CUMA BAGUS DI PENOKOHAN, SISANYA ANCUR-ANCURAN

Sejujurnya saya nggak 'trying to hard' untuk bias ataupun subjektif akut. Memang ada kok kelebihan mungkin bisa dibilang satu-satunya, yaitu penokohan karakter.

Bahkan ada 2 karakter dalam serial Sweet Home yang paling mencolok dan menarik perhatian saya:

  • Pertama: Pyeon Sang-Wook (Lee Jin-wook)

Mengingatkan saya pada Daryl di The Walking Dead. Karakternya abu-abu, cenderung anti-hero (meski ujung-ujungnya jadi hero). Dekil tapi manly, persis kayak DarylBadass sih ini karakter, seneng banget kalau dia udah muncul, kek suasana terasa jadi aman.

  • Kedua: Lee Eun-Hyeok (Lee Do-hyun)

Aura leader-nya kental banget, dingin dan wibawa. Sempet curiga di awal karna emang misterius apalagi keputusannya sering diperdebatkan. Namun seiring waktu berjalan, ternyata apa yang dia lakukan itu REALISTIS. Contoh ucapannya; "Prioritaskan nyelamatin yang berguna, anak-anak kesekian". Memang keputusannya terlihat nggak manusiawi, tapi disituasi genting kayak gitu itu udah jadi keputusan yang bijak dan rasional.


Sebenarnya ada beberapa lagi sih, tentu satu-satunya sumber pelatuk tertawa kita, No Byeong-Il (Im Su-Hyung). Dan juga Lee Eun-Yu (Go Min-Si) dengan segala kebacotannya yang menampar. Kalau yang lain ya so-so aja sih, kayak emang karakter 'generic' aja.

Gimana dengan tokoh utama; Cha Hyun-Su (Song Kang)? Buat saya pribadi kurang sreg. Karna perkembangan karakternya telat memanas. Kita baru dikasi lihat character development-nya itu di penghujung episode, 9 episode sebelumnya malah dibuat gedeg karna ke-kikuk-annya yang manut-manut aja disuruh. Apalagi plot twist background-nya yang super panjang itu nggak terlalu ngefek ke konflik utama, jadi ya nggak nge-feel apa-apa.

Belum lagi Korea yang terkenal sebagai dewanya drama-romance, disini malah unsur romansanya gagal. Sutradara kelihatan bingung mau fokusin ke mana, thriller atau action. Mungkin yang cukup berhasil kemistri romance-nya itu yakni antara Cha Hyun-Su dengan Lee Eun-Yu, sederhana tapi ngena. Nggak terlalu di dramatisir kayak Yoon Ji-Su dan Jung Jae-Heon.

The cutest moment on Sweet Home. Change my mind.

Mungkin juga terlalu riskan dikatakan suatu kelebihan. Sebab proporsi penokohan disini terlalu overused, bukan pada kadarnya yang mana hampir memakan keseluruhan episode.

Karakterisi yang berlebihan ini juga berimbas pada..

ALUR CERITA YANG BERTELE-TELE

Yup, kekurangan terbesar di Sweet Home ini jatuh pada plot yang dragging banget. Tensi baru muncak mulai di episode 7. Dibawahnya? Siap-siap deh boring. Gimana penokohannya nggak bagus coba? Lah wong seperempat paruhnya aja di jejelin filler tokohnya satu per satu. Contohnya gini, di satu episode itu kayak 70% filler dan 30% konflik utama. Dan untungnya konflik utama cukup cerdas dieksekusi, jadi payoff-nya ya lumayan enjoy, ngebuat sedikit lepas dari jenuhnya filler tadi. Baru deh di penghujung episode kita dibikin nggak nafas karna ritme ngalir ke 'full action packed' yang cukup mumpuni sampai-sampai ada 'ghoul moment' dong.

Apresiasi terhadap konflik utama yang dinamis hingga pecahnya, ngebikin momen-momen akhir jadi hal terbaik yang dimiliki Sweet Home


VERDICT..

Sudah jadi keharusan untuk menilai suatu karya termasuk film ataupun serial secara utuh meliputi aspek naratif dan sinematik, bukan sekadar suka atau tidak suka. Dan untuk Sweet Home, terlalu banyaknya kelemahan yang nggak bisa ditopang dengan satu keunggulan saja. Maka dari itu, predikat 'bagus' nggak pantas disematkan pada Sweet Home.

Intinya, saya nggak habis thinking kenapa banyak yang ngasi rating tinggi untuk series ini.

SKOR TOTAL : 5/10

Edo Ricky
Edo Ricky Tergila-gila dengan film sejak mulai bisa berfikir.

Post a Comment for "Review Serial 'Sweet Home': Drakor Termahal Netflix Rasa Sinetron"