Review Film 'Bumi Manusia'
Pertama-tama aku gak akan membandingkan sebuah karya tulis dengan film, karna merupakan dua medium yang berbeda. Film membatasi kita dengan mata dan telinga, sedangkan novel dengan imajinasi nan liar tak terbatas. Maka dari itu mayoritas penikmat literasi gak akan pernah puas ketika novel favoritnya difilmkan yang mana hasilnya jelas tidak sama persis—keterbatasan durasi, dana, penyesuaian alur cerita—yang kerap langsung mengkambing hitamkan film adaptasi itu hanya karna perbedaan interpretasi, bukan karna buruk dari sisi keutuhan sebuah film.
Bumi Manusia, sebuah film karya Hanung Bramantyo yang diadaptasi dari salah satu buku terkenal mahakarya Pramoedya Ananta Toer; sastrawan legendaris yang mengalami kekejian politik dicap sebagai pendukung PKI oleh pemerintahan ORBA dan dibuang di Pulau Buru—tempat pembuangan tahanan politik G30S—sebuah tempat yang melahirkan pemikiran tajam Pram yang dia tuangkan dalam empat novel yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah kaca yang kerap disebut Tetralogi Buru adalah karya monumentalnya.
![]() |
Source: Tirto.id |
Hanung cukup sukses dalam menghidupkan abad 20—disaat Indonesia masih berada di bawah jajahan Belanda—yang begitu kental desain set kolonialnya. Mulai dari budaya, lokasi, alat transportasi hingga hal detil seperti gestur tubuh dan diksi atas beragamnya bahasa benar-benar diperhatikan untuk menunjang cerita. Doi sebagai sutradara patut diapresiasi jika mengerahkan energinya untuk membuat film berbau sejarah.
Untuk ensemble cast, pujian besar wajib kita lontarkan kepada Sha Ine Febriyanti yang sepenuh hati menaruh perasaannya terhadap karakter Nyai Ontosoroh; menjadi tulang punggung dalam film ini. Memukau bahkan bahasa tubuhnya aja seolah punya pesan tersendiri mempresentasikan wujud sosok wanita yang sebenar-benarnya tangguh dan kuat.
Tentu tak dilupakan pada tokoh yang mungkin jadi alasan kuat untuk menonton Bumi Manusia; Iqbaal Ramadhan yang sudah mengerahkan seluruh kemampuannya nan menggebu dan penuh perasaan untuk menghidupkan karakter Minke. Meski dibeberapa segmen terlihat over-acting seperti ekspresi menangisnya yang agak mengganggu—tetapi patut diacungi jempol kelihaiannya menggunakan bahasa jawa dan belanda secara berdampingan, hal yang tak lah mudah. Begitu juga Annelies (Mawar De Jongh) yang dalam tahap aman dengan kepolosannya saja begitu menawan.
Sayang seribu sayang, chemistry romansa Minke dengan Annelies yang ditunggu-tunggu gagal untuk memikat—terkesan buru-buru dalam penyampaian berujung repetitif. Yang mana juga kisah romansa ini malah mendominasi keseluruhan cerita, dengan memberi ruang sempit untuk plot utama yang harusnya menjadi kekuatan dalam film ini; tentang perjuangan pribumi dalam ketidakadilan dari kolonialisasi Belanda. Usaha perlawanan pribumi yg menjadi tamu di negeri sendiri merupakan sebuah topik rasisme yang masih hangat dan relevan di negeri ini maupun luar. Bumi Manusia tidak memanfaatkan kesempatan langka itu untuk digali lebih dalam—setidaknya seperti Dua Garis Biru yang berhasil mengangkat isu yang "sama sensitifnya" dengan isu ras—di tengah kecamuknya bangsa ini.
Plot persidangan, penyelidikan dan reaksi masyarakat akan kasus tersebut ditampilkan secara montase yang membuat film terasa melompat-lompat—juga disisipi banyak lubang yang menimbulkan keganjilan sepanjang durasi: apa motif dasar pembunuhan Herman Mellema? siapa tokoh gendut yang membuntuti Minke? kemana Robert Mellema? ughh ketawa Maiko? alih-alih berlindung dalam "keterbatasan durasi" atau alibi lainnya, tetapi bagaimana plot ini gagal dieksekusi dengan baik sehingga disaat satu pertanyaan belum terjawab, sudah terdistraksi oleh hal lain lagi yang mana sangat mengganggu.
Tidak hanya itu saja, usai konflik persidangan pertama selesai yang membuat tensi ketegangan mutlak menurun, eh ternyata masih melanjutkan ke konflik lain dengan baliknya persidangan diiringi lagi montase berlebihan yang menyebabkan repetitif dan kurang bergairah akan konflik tersebut. Diperparah dengan penataan suara yang tidak sinkron dengan musik yang memaksa kita agar emosi—malah mengganggu pendengaran.
Terlepas dari kelemahannya, Bumi Manusia tetaplah sebuah usaha yang patut diapresiasi dari segala aspek atas keseriusan pembuatan film ini dalam durasi 3 jam. Terutama memberikan makna ke penonton agar jangan takut mengungkapkan pemikiran, sebuah pemikiran mendalam tentang arti kehidupan.
Tanggal rilis: 15 Agustus 2019 (Indonesia)
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis: Salman Aristo
Pemeran: Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Giorgino Abraham, Bryan Domani, Jerome Kurnia, Donny Damara, Ayu Laksmi.
Sinematografi: Ipung Rachmat Syaiful
Musik: Andhika Triyadi
Produser: HB Naveen, Frederica
Perusahaan Produksi: Falcon Pictures
Durasi: 181 menit
Post a Comment for "Review Film 'Bumi Manusia'"