Review Film 'Dua Garis Biru': Film Yang Patut Ditonton Remaja
Masih pada ingatkan euforia "Dua Garis Biru" tahun lalu? Dikala sebelum perilisan, banyak yang mengecam sampai memboikot dari berbagai petisi.
Sampai pada perilisannya, yap, Dua Garis Biru berhasil menampar prasangka buruk dari mereka yang mengira ini akan menjerumuskan ke hal negatif. Faktanya, tema yang diangkat sangat relatable dengan masalah yang terjadi disekeliling kita yaitu 'pernikahan dini' akibat tabunya pendidikan seks di Indonesia.
SPOILER!! DUH..
Adhisty Zara yang masih belia pada saat itu, bisa membawakan narasi sarat nan berat. Dipadu dengan Angga Yunanda, yang diamnya saja dapat menyampaikan pesan seakan ekspresinya berbicara (lupakan perannya di 'Di Bawah Umur'). Chemistry mereka berdualah yang menjadi elemen kuat dalam film ini.
Tak dilupakan kehadiran mereka disempurnakan oleh para pemain senior seperti Arswendy Bening Swara, Dwi Sasono dan duo pencuri perhatian; Cut Mini, tipikal 'emak-emak' yang ada di circle kita dan Lulu Tobing, yang baru balik ke dunia film setelah vakum 7 tahun lamanya, menampilkan peran yang outstanding. Mereka menjadi tulang punggung disepanjang durasi dengan gambaran orang tua yang berbeda strata dalam menghadapi masalah.
Tentu saja, puncak totalitas akting yang mereka keluarkan semua pada saat adegan berkumpul di ruang UKS sekolah. Dilakukan dengan apik oleh teknik one-shot—suatu adegan yang direkam panjang tanpa putus—hal yang jarang sekali dilakukan oleh sineas lokal. Jelas saja saya langsung mengklaim adegan tersebut sebagai adegan terbaik sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
Saya ingat betul pada waktu nonton di bioskop, dengan disorotnya emosional mereka yang memuncak membuat seisi studio membisu seketika, seakan melihat langsung pertengkaran nyata.
Jujur, saya berempati terhadap seluruh karakter dalam film ini yang mana semua pemeran dapat memaksimalkan aktingnya. Sekalipun figuran macam Asri Welas, berhasil memecahkan gelak tawa satu studio.
INI BARU NAMANYA EDUKASI SEKS!
Pujian besar dilontarkan kedapa sang sutradara, Gina S. Noer! yang sebelumnya hanya puas diposisi penulis naskah dengan melahirkan film fenomenal Indonesia; 'Ayat-ayat Cinta'. Kini beliau memulai debut penyutradaraannya yang sangat berhasil membuka diskusi edukasi seks tanpa terasa menghakimi. Mengerjakan skenario bertahun-tahun lamanya bahkan nyaris stuck, meski pada akhirnya berbuah manis menghasilkan naskah yang padat namun tertata rapi. Seluruh dialog sangat pantang untuk dilewatkan, karna kata per kata memiliki sarat akan makna yang begitu dalam, atau bahasa gaulnya 'quotable' lah.
"Jadi orang tua itu bukan hanya 9 bulan 10 hari, itu pekerjaan seumur hidup!"
Contoh kecil deh, quote yang simple tapi terenyuh pas kita dengar yakni ketika Bima dan Ibunya berdiskusi intim setelah 'kecelakaan' itu, Bima bertanya "emangnya Ibu bisa ciuman karna nonton yang ada ciumannya apa?", lalu sang Ibu membalas "harusnya kita sering-sering ngobrol ini ya, Bim". Sumpah, dialognya sangat menampar buat kita yang jarang obrolin ini dengan orang tua, dikarnakan masih banyak yang menganggap hal ini memalukan. Banyak orang tua yang nggak ngenalin kita tentang bagian-bagian tubuhnya ke anaknya, sehingga kita mencari tahu sendiri dan ujung-ujungnya salah kaprah. Betapa jeniusnya Gina mengeksekusi hal detil seperti ini.
METAFORA DALAM VISUAL
Bukan hanya naskah yang sarat pesan, visualnya juga dapat berbicara tanpa menjelaskan. Sinematografi menawan dan art departement yang di tiap adegannya diperhatikan begitu detil, seperti dinding kamar Dara yang berisi poster-poster Korea dengan selipan kata 'SE-MA-NGAT', dikala momen Dara yang lagi galau-galaunya. Estetis namun nggak lebay, bener-bener memanjakan mata. Apalagi pemilihan soundtrack-nya juga menghanyutkan loh bahkan terngiang-ngiang ditelinga kita.
Bahkan visualnya menyajikan metafora-metafora seperti relasi buah stroberi dengan aborsi yang bikin mindblowing. Dimulai dari adegan stroberi diatas perut, berlanjut adegan nge-blender jus stroberi, sampai jus stroberi tadi ditinggalin dan nggak jadi diminum. Yang jikalau diinterpretasikan, pesan tersembunyi tadi bermaksud; bayi kandungan yang ingin diaborsi, berakhir tidak jadi dilakukan. Menakjubkan bagi saya, benda mati berasa hidup.
Dan tentu, pasti masih banyak yang kebingungan terhadap kemunculan Ondel-ondel, bukan? Terkait semiotik Ondel-ondel yang mungkin penonton bertanya-tanya siapa yang ada dibalik ondel-ondel itu. Padahal nyatanya yang disampaikan bukan siapa 'orang dibalik' Ondel-ondel tersebut, melainkan metafora atau makna tersirat dalam kehidupan Dara.
Berdasarkan budaya Betawi, Ondel-ondel itu berfungsi sebagai penolak bala. Ondel laki-laki yang berwarna merah diartikan 'keberanian', sedangkan yang muncul dalam film ini yakni perempuan yang diartikan sebagai 'kesucian'. Jadi konklusinya, ya tergantung diri masing-masing bagaimana kita menginterpretasikannya. Disetiap kemunculan Ondel-ondel tersebut, pasti dapat memberikan jawaban kok. Sebab, film yang baik adalah film yang menimbulkan filosofis multitafsir.
KESIMPULAN..
Menurut saya, pengalaman nonton Dua Garis Biru pada waktu itu tidak hanya sampai pada ketika layar bioskop mati dan berbondong keluar, melainkan sutradara memberikan saya PR yang berat setiba dirumah dan berhari-hari untuk memecahkan seluruh pesan tersembunyi yang ada pada film ini.
Pada akhirnya, film ini bukan hanya semata-mata edukasi seks dengan konflik Dara dan Bima, maupun hubungan sentimental orangtua dan anak. Melainkan tentang semua manusia yang pernah salah berhak mendapatkan kesempatan kedua dan tetap ada harapan untuk mengejar mimpi.
Demi apa mereka yang dulu melarang sebelum tahu isi filmnya? menghalangi sebuah film yang justru menjawab kebutuhan masyarakat kita! Tuntutan tak berlandas karena sensi terhadap segala hal seks itu kian menunjukan bahwa Dua Garis Biru sangat dibutuhkan untuk ditonton.
SKOR TOTAL : 9/10
Post a Comment for "Review Film 'Dua Garis Biru': Film Yang Patut Ditonton Remaja"