Jakarta vs Everybody: Mengejar Mimpi Lewat Kacamata Nietzsche
Setiap manusia berhak
memiliki mimpi. Tak banyak cara untuk menghadapi sebuah mimpi—mengejar atau meninggalkannya. Namun, mimpi menjadi angan-angan tatkala hidup memaksakan kita untuk berada di ujung tebing air terjun, dimana pilihan menjadi terbatas: berusaha
melawan arus yang kuat atau hanyut terseret arus yang dalam.
Realita tak selalu mengikuti ekspetasi, layaknya film
ini. Jakarta vs Everybody
menggambarkan sebuah potret mengenai kerasnya menghidupi
mimpi di Jakarta secara liar dan realistis. Sebuah karya besutan Ertanto Robby Soediskam ini sempat jadi perbincangan hangat di media sosial. Sebagian besar gaungnya tak lepas menyoroti unsur sensualitas dalam film ini yang bahkan hanya tampil beberapa detik saja. Padahal jika film ini ditelisik lebih jauh akan
menemukan hal yang lebih menarik lagi, yakni sebuah konsep yang menyerupai buah
pemikiran dari Nietzsche tentang
“mengejar mimpi”.
Latar Belakang
Mungkin sudah banyak
yang mengenal Willhelm Friecrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman yang gagasannya dalam “God is Dead” cukup kontroversial sampai
sekarang. Filsafat Eksistensialisme yang digalakkannya
ini, tidak semata-semata seperti yang salah kaprah dipahami sebagai sebentuk
ateisme. Sebab ini bisa diterjemahkan sebagai pisau dekontruksi guna membelah tatanan karakter agar tersusun ulang dari apa yang selama ini dipertuhankan oleh diri sendiri. Dekonstruksi yang sejatinya diperlukan untuk membangun karakter manusia yang mandiri, sesuai dengan karakter yang diperankan Jefri
Nichol; Dominik.
Maksud hati merantau Jakarta agar menjadi aktor besar, namun tentu tak semua mimpi dapat terwujud dengan mudah. Hidup di Ibukota tak seindah yang dibayangkan, mau tak mau mengotorkan tangan demi bertahan
hidup. Hingga di tengah kesukaran, Dom tak sengaja bertemu dengan pasangan suami istri, Pinkan (Wulan Guritno)
dan Radit (Ganindra Bimo). Bak
sudah jatuh tertimpa tangga, mereka malah membawanya
semakin terperosok ke gelapnya kehidupan metropolitan; menjadi kurir narkoba. Perjalanan
kelam Dom pun
dimulai.
"You talkin' to me?" |
BAB I: Dom dan Amor Fati
Kota
halnya ‘alam liar’ bagi perantauan. Bersedia ke kota
dengan dalih mengejar mimpi, maka bersiap
juga ketika dihantam kenyataan pahit. Dengan premis sesederhana itu, Jakarta vs Everybody bisa mengeksplor ruang intim yang berspekturm luas, terlebih tentang mimpi
seorang perantau di Jakarta. Tanpa latar belakang dapat
terlihat betapa berantakannya kehidupan Dom. Tuturan depresi nan teruk dari pemuda yang menghalalkan
pekerjaan haram, tetapi dirinya masih percaya akan sebuah
mimpi yang akan menjadi nyata
meski entah kapan waktu itu tiba.
Dekat dengan apa yang
digagaskan Nietzsche. Sebab, mengejar mimpi menghajatkan sosok yang bertekad tinggi, tidak mudah patah, dan siap bersaing dengan kenyataan. Terpenting keinginan kuat untuk bertahan hidup
merupakan modal dasar yang wajib dimiliki. Modal yang direpresentasikan Dom sebagaimana kesehariannya sebagai
kurir narkoba yang dengan
santainya ia jalani. Ia mengerahkan kemampuan aktingnya agar tidak
ketahuan oleh polisi, seperti mengenakan seragam kurir pizza hingga bertransformasi jadi waria. Pergolakan moralitas membangun
paralel antara ‘Dom si aktor’ dan ‘Dom si kurir narkoba’, membuat dinamika psikis berkonfrontasi dengan pertentangan batin di tiap transformasinya.
Totalitas Jefri Nichol dalam memerankan karakter waria, merupakan tribut untuk film "Lovely Man" (2011) karya Teddy Soeriaatmadja. |
Hal ini berkaitan
dengan ucapan Nietzsche: “Semboyanku ialah Amor fati: ...tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan),
melainkan juga mencintainya.” Amor fati adalah bentuk ekspresi manusia terhadap kecintaannya pada kehidupan tanpa mau sedikitpun melarikan diri ke
dunia lain atau akhirat. Amor fati merupakan karakteristik dan mentalitas yang terpilih untuk berani
menerima risiko
dari segala apa yang teralami dalam hidup. Amor fati mengimplikasikan pikiran bawah sadar Dom, dikuatkan gagasannya dalam
buku “The Will to Power” yakni manusia harus
berkuasa atas dirinya sendiri, tidak menjadi lemah oleh persaingan hidup dan
segala tatanan nilai dari luar dirinya.
Pernyataan tersebut didorong
adegan Dom yang acap kali membulatkan
ekspresinya di sebuah keterpaksaan—menjadi kurir yang ilegal nan beresiko atau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa—dengan
banyaknya momen Dom terhanyut di kesendirian bersamaan detail
kecil seperti dom menulis "mimpi 2019". Emosinya terpampang seakan melisankan resolusi tentang bagaimana si Dom masih memiliki mimpi, jauh di lubuk
hati. Homage ke “Taxi Driver” (1976) juga pilihan tepat
untuk melekatkan situasi terebut, terutama pikiran bawah sadar Dom.
BAB II: Kekuatan Pikiran Bawah Sadar
Dalam teori “The Power of Autosuggestion and
Visualization”, singkatnya dijelaskan sebagai sesuatu keinginan yang
sangat besar dan terekam dalam pikiran bawah sadar. Dilakukan dengan penuh
rasa percaya, melibatkan emosi dalam diri, penuh konsentrasi terhadap obyek
berulang-ulang. ‘Berulang-ulang’ ini yang dilakukan Dom
sepanjang film. Ia dengan pedenya memproklamir diri sebagai seorang aktor disaat orang-orang
menanyakan apa pekerjaannya, seakan menegaskan aktor besar yang kenyataannya
hanyalah figuran terbuang yang putus asa mencari pekerjaan
apapun untuk mendapatkan uang.
Namun, itu adalah bentuk manifestasi pikiran bawah sadar ketika mengambil alih.
BORN TO FILM |
Menurut Nietzsche, pikiran bawah sadar (unconscious) memiliki peran vital dalam kesadaran manusia, memegang peranan sangat dominan dibanding logika, karena logika adalah fungsi terkini manusia saat ia bertumbuh dewasa. Bisa dibilang pikiran bawah sadar manusia adalah jiwa mendasarnya manusia. Sangat primitif selaku tempat penyimpanan habit atau kebiasaan, emosi-emosi terpendam sejak masa kecil, program-program perilaku dan persepsi, rekaman-rekaman penglihatan dan pendengaran yang bermuatan emosi negatif maupun positif. Melalui itu pula ditunjukkan hasrat terdalam Dom pada mimpinya sekalipun dengan cara inkonvensional.
BAB III: Eksistensialisme Untuk Kehidupan
Filsafat
eksistensialisme Nietzsche ini memanifestasikan santiran implisit melalui paparan
sinematik dalam Jakarta vs Everybody, terutama perjalanan hidup Dom itu
sendiri. Eksistensialisme memiliki jargon “Tuhan telah Mati” yang mencoba mengajak kepada manusia untuk mencapai nihilisme, yang berarti
penghancuran nilai-nilai absolut dalam hidup ini. Dengan runtuhnya nilai absolut hidup, maka manusia menjadi independen dan eksis, tidak tergantung dan
menjadikan sesuatu diluar dirinya menjadi tujuan hidup.
Semangat independensi dan eksis menjadi manusia utuh yang tidak bergantung pada apapun inilah yang membentuk karakterisasi Dom, merefleksikan kehidupan nyata untuk menjadikan manusia yang dinamis, selalu mencari, dan terus mencari. Dalam bahasanya Nietzsche ini disebut “manusia super” (ubermensch), karna di tengah intensitas per-narkoba-an pun Dom masih digambarkan menanam harapan untuk tetap mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia menabung penghasilannya demi mewujudkan mimpi, bahkah bertemu orang-orang baik yang menyarankan dia untuk berhenti dari pekerjaan ilegalnya. Dengan akhiran terbuka yang memiliki setiap kemungkinan bagi Dom untuk melanjutkan perjalanannya dan melakukan apa pun yang harus ia lakukan, tak lain berjibaku mengejar mimpi. Karena eksistensi manusia itu dimulai dari mimpinya, selama di dalam diri seseorang masih berdenyar harapan, selama itu pula ia masih layak untuk meneruskan kehidupan.
Post a Comment for "Jakarta vs Everybody: Mengejar Mimpi Lewat Kacamata Nietzsche"