Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review Film Pendek 'TIlik': Bu Tejo Adalah Kita!


PERHATIAN: Ulasan ini mengandung analasis mendalam, minor spoiler, dan tentunya cukup panjang. Jadi, posisiwenak-kan dulu diri Anda sebelum membaca tulisan ini ya!
Setelah merasakan pahit getirnya #dirumahaja, pencinta film harus gigit jari karena tak bisa menonton film dari bioskop. Untungnya, belakangan ini muncul sebuah film pendek yang baru-baru ini sedang viral, berjudul "Tilik" dirilis di channel YouTube Ravacana Films. Disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo, film yang berdurasi 30 menit ini dirilis dalam rangka merayakan HUT RI ke-75, seketika naik pamor mengundang banyak perhatian dan apresiasi dari para warganet hingga trending dalam waktu tak lebih dari 24 jam setelah diunggah. Mampu membius publik dan membuat kita sejenak melupakan tentang karut marutnya pandemi dengan kisah unik yang diangkatnya.

Sebenarnya film dari Yogyakarta ini diproduksi tahun 2018 oleh Ravacana Films yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY. Sudah dikenal dahulu lewat acara screening film Boemboe Forum tahun 2019 yang diselenggarain di Kineforum Jakarta. Pada kesempatan itu, film Tilik terpilih buat naik layar. Pada saat yang sama, penonton juga dibuat sangat puas dengan hasil karya Wahyu. Orisinalitas dan gaya komedinya yang natural membuat sederet penghargaan melekat pada film ini, salah satunya memenangkan penghargaan Maya Award of Best Short Film.

Cerita film ini diangkat dari budaya tilik atau dalam bahasa Indonesia berarti “menjenguk”, hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Indonesia. Terciptanya film ini berasal dari keresahan sang sutradara yang ingin menangkap kebiasaan ibu-ibu yang sering ditemui dalam kultur keseharian warga kampung terhadap budaya rasan-rasan atau menggunjing. Keadaan yang sangat melekat dalam kehidupan bermasyarakat kita semua.

SINOPSIS

Bercerita tentang rombongan ibu-ibu asal desa Bantul dengan sukarela berangkat dari kampungnya hendak menjenguk Bu Lurah, yang tengah dirawat di rumah sakit di kota Jogja menggunakan truk bak terbuka. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Bu Tejo membuka suara tentang salah satu gadis bernama Dian, seorang kembang desa. Dian kedapatan pergi dengan anak lelaki Bu Lurah.


Munculah serentetan opini dari para ibu-ibu. Sepanjang perjalanan Bu Tejo tak henti-hentinya mengoceh tentang Dian, membeberkan gosip-gosip yang mengusik perjalanan mereka. Gaya bicara dan ekspresi Bu Tejo saat bergosip itulah yang sukses membuat Tilik menjadi buah bibir. Beliau paling banyak memberikan informasi tentang Dian, meski semuanya berisi sisi negatif. Banyak ibu-ibu yang mempercayai apa yang dikatakan Bu Tejo, salah-satunya Yu Sum yang sering menyahuti.

Mereka sangat antusias membicarakan tentang Dian, Sementara dalam rombongan tersebut ada Yu Ning, saudara jauh dari Dian. Ia tentu menyanggah dan membela saudaranya yang digunjing habis-habisan oleh Bu Tejo, karena baginya tak cukup hanya menuduh orang melalui asumsi liar ataupun internet. Terjadilah perbincangan sengit antar dua orang tersebut disepanjang perjalanan. Apakah benar Dian perempuan 'tidak baik' seperti dugaan ibu-ibu? Dan berhasilkah mereka menjenguk Bu Lurah?

TERASA NATURAL, SEPERTI MELIHAT TETANGGA SENDIRI MAIN FILM.

Dari konsep ceritanya saja sudah sangat sederhana, mengenai segerombolan ibu-ibu yang akan menjenguk Bu Lurah menggunakan truk. Akan tetapi, di dalam truk tersebut terjadilah sebuah dialog yang akan menuntun kita terhadap konflik utama. Tentu primadona film ini jatuh kepada Siti Fauziah! berhasil membuat jagad internet gregetan dengan peran yang Ia bawakan. Kualitas akting Bu Tejo begitu total, dari awal kemunculannya saja sudah mencuri perhatian—meski kebanyakan dalam bentuk kebencian.

Dengan gunjingan pedasnya ala Bu Tejo, penonton dibuat hanyut dalam kekesalan yang menghidupkan isi cerita dari keseluruhan film ini. Tidak hanya ekspresi yang tampak di wajah, gesturnya juga mumpuni dari cara ia menunjukkan status sosialnya, seperti membenahi lengan baju untuk menunjukkan emas-emas yang dipakainya. Apalagi ucapan-ucapan Bu Tejo begitu luwes, seolah dirinya tidak sedang berakting di depan kamera dan banyak kru. Siti Fauziah terlihat begitu menguasai peran dari awal sampai akhir.

"Dadi wong ki mbok yo sing solutif"

Sosok Bu Tejo diimbangi sama karakter lainnya yang tak kalah apik bernama Yu Ning (Brilliana Desysosok) yang mencoba positif dan selalu kontra terhadap setiap omongan Bu Tejo. Bu Tejo dan Yu Ning menjadi dua karakter utama yang memberikan interaksi dinamis dalam dialog ini. Seperti sebuah perdebatan yang cerdas, keduanya selalu memiliki statement untuk menyanggah dan membuat dialog terus berjalan terarah. Tidak asal menggosip tanpa juntrungan.

Kemudian juga ada Yu Sam (Dyah Mulani) yang suka cari aman, dan terakhir ada Bu Tri (Angelin Rizky) yang senang mengompori. Apresiasi disematkan pada akting semua pemain, baik pemeran utama maupun pendukung berhasil mengeksekusi interaksi dialog yang mengalir begitu saja dan mudah dicerna. Tak ubahnya seperti ibu-ibu kampung beneran yang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit dengan truk bak terbuka, tanpa ada kameramen dan kru film yang ikut serta bersama mereka.

Seperti film yang sangat tidak film, semata-mata karena akting para pemainnya tak tampak seperti akting. Bahkan penokohan Karakter-karakternya juga sangat multi-dimensi, tidak ada antagonis maupun protagonis, dikarenakan sifat mereka semua ada di dalam diri kita. Ini cukup menjelaskan akan pro-kontra penonton yang sudah menonton Tilik. Ada yang pro Bu Tejo, Yu Ning, Dian, bahkan pro Gotrek, barisan suami takut Istri. Xixixi.


Rasa kealamian film ini menjadi-jadi ketika dialog yang digunakan menggunakan Bahasa Jawa. Buat orang-orang yang terbiasa berbahasa Jawa, dipastikan sangat nyaman menonton film ini. Mereka seolah sedang menyaksikan film yang dibintangi tetangganya sendiri. Sebaliknya, bagi orang yang tak berbahasa Jawa tak ada masalah yang berarti. Justru unsur kedaerahan yang ditonjolkan semakin menguatkan karakter masing-masing peran.

MESKI FILM PENDEK, SECARA TEKNIS DAN ESTETIKA NGGAK TANGGUNG-TANGGUNG

Dengan cerita yang segar dan skrip yang menggigit, pujian kepada sang penulis Bagus Sumartono. Beragam Sindiran, celetukan dan guyonan dari ibu-ibu ini pasti akan membuatmu tertawa. Kalian akan tersenyum dan cekikikan melihat tingkah mereka sepanjang film. Menyundul-nyundul gosip, sampai ada yang muntah, kebelet pipis, hingga kehebohan saat mereka dihadang polisi.
Tilik memiliki produksi film yang sangat profesional dan dieksekusi dengan baik. Mulai dari casting, sinematografi, hingga properti. Pengambilan gambar yang sebagian besar dilakukan di atas truk milik Gotrek ini memasukkan film Tilik dalam jenis road movie. Didominasi dengan adegan yang sama; ibu-ibu berinteraksi di atas truk. Jauh dari kata bosan, sangat seru menyimak ibu-ibu ini bergosip dengan asyiknya.

Ibarat truk adalah panggung, staging setiap karakter juga berubah-ubah agar tidak monoton. Suasana perjalanan panjang seolah-olah membuat kita sebagai penonton ikut terisolir rombongan di dalam truk tersebut, melibatkan emosi penonton berkat gosip pedas yang berpacu di dalamnya. Diperparah visual film ini dengan dominan warna terang nan panas, membuat kita merasakan gerah yang dialami ibu-ibu dengan mengenakan wardrobe warna-warni nan catchy ini.

Terima kasih juga kepada bagian editing dan sound-mixing! Meski syuting dilakukan di jalan raya, kita tak akan mendengar suara mobil atau motor yang mengganggu, apalagi suara ibu-ibu yang nyaring bernada tinggi. Semuanya terkontrol agar ambience sound-nya tetap natural. Editing transisinya juga lembut dan tidak patah, diselingi dengan pemandangan hutan hijau dan berbelokan dengan suara para pemain yang diberi efek fade-out. Untuk sekelas film pendek, kita bisa melihat usaha maksimal produksi ini dalam mengeksekusi film yang nggak tanggung-tanggung secara teknis dan estetika.


MENANGKAP DINAMIKA SOSIAL YANG RELATABLE, SAMPAI DI KRITIK SJW.

Film ini juga membawa serangkaian isu sosial. Sosok Bu Tejo yang mengandalkan internet dan percaya bulat-bulat atas informasi yang diterima, itu juga kerap terjadi di dunia nyata. Apalagi, sampai menyebarkan informasi dan merasa dirinya paling tahu, Bu Tejo sekali lagi mewakili keresahan hati banyak orang saat ini. Film ini pantas mendapatkan banyak pujian. Bu Tejo dan ibu-ibu lainnya dalam rombongan tilik dinilai benar-benar menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia, terutama ibu-ibu yang gemar bergunjing.

Namun, tak sedikit pula yang memberikan kritik pedas terhadap film ini, terutama oleh para kaum SJW. Mulai dari mempertegas pembakuan stereotip perempuan sebagai tukang gosip, pengaruh hoax internet di kalangan orangtua, stigma ibu-ibu kaya yang demen pamer, serta perundungan terhadap perempuan yang bekerja, single, dan tidak berjilbab. Semua hal yang berkaitan itu disebut tidak mendidik. Tapi apa sebenarnya definisi gosip itu sendiri? Dan mengapa selalu dilekatkan kepada gender perempuan?

Padahal nyatanya, Tilik hanya berusaha menggambarkan realitas yang terjadi tanpa memberikan stigmatisasi apa-apa. Betapa banyak dari kita, bukan hanya ibu-ibu yang justru menikmati bergosip selama berjam-jam, Intelektual layaknya mahasiswa pun suka ngegosip. Bukankah memang kita ini ditakdirkan untuk terlahir di masyarakat yang senantiasa rasan-rasan? Saya meyakini bahwa hampir kebanyakan kita, hidup di dunia yang penuh dengan gosip. Ia serupa suplemen makanan yang setiap hari kita santap, baik dengan sengaja maupun tidak.

Marahan nih yee

Secara umum, kita tentu setuju bahwa menggosipkan orang lain dan menambahinya dengan bumbu-bumbu penyedap yang belum tentu tepat akurasinya adalah tindakan yang tidak baik. Tentu, semua sepakat atas standar moralitas itu. Tapi itulah uniknya. Saya selalu beranggapan, dalam cerita pendek yang realis sekali pun, kita tidak perlu menangkap realitas apa adanya. Reaksi orang yang menonton Tilik itu normalnya ya merasa dekat, karena inilah realitas sosial yang ada, mengamplifikasi kenyataan.

KATANYA TANPA PESAN MORAL? YANG BENAR AJA!

Di kiri kanan kita pasti ada saja orang seperti Bu Tejo ini. Berasa tahu semuanya dan senang menyebarkan percikan gosip. Tapi nyatanya orang seperti Bu Tejo ini termasuk orang yang peduli loh terhadap sesuatu yang terjadi pada lingkungannya. Bahkan menguntit hal-hal yang tidak wajar sebagaimana ketetapan yang dianut dalam kelompoknya. Sehingga mereka akan wanti-wanti untuk bertindak 'sesuatu' agar tak menjadi perhatian orang lain. Meski kewajaran dalam suatu kelompok masyarakat ini tak semuanya sama, namun umumnya bagi masyarakat Indonesia ada beberapa persamaan kasus yang 'tidak wajar' seperti; perempuan jalan dengan pasangan yang lebih tua, keluar masuk hotel, dan sampai pulang malam. Nyatanya kasus tersebut tidaklah selalu berkonotasi buruk. Mereka hanya hidup dan menghidupi konstruksi yang sudah membudaya pada masyarakat, sayangnya hal itu membelenggu untuk perempuan, terlebih jika ia berkerudung.

Jadi, tak usahla kita berlebihan sampai membenci perilaku karakter di dalam film ini. Karena perilaku tersebut murni manusiawi, pernah kita lakukan tanpa sadar. Seperti karakter Bu Tejo, sejulid apapun perkataannya maupun penilaiannya terhadap sesuatu yang sebenarnya belum ia kuasai, tak berarti pula semuanya salah. Bisa jadi beberapa di antaranya ada benarnya juga. Sementara kita yang awalnya simpati dengan sosok Yu Ning, menjadi pembeda dalam sosok 'antitesis', bisa berbanding balik dengan kekeliruannya dalam mengolah informasi. Apalagi penilaiannya bias karena memiliki hubungan sedarah dengan orang yang dibicarakan. Hal ini tentu bisa jadi perenungan buat kita, karna semua film dapat memberikan pesan moral yang kuat. Namun bisa juga hanya bertindak sebagai cerminan diri untuk mengingatkan kita, mana yang benar dan mana yang salah. 


Setiap karya, termasuk film pendek sekalipun bisa diinterpretasikan berbeda-beda. Ada yang pesannya disajikan secara eksplisit maupun implisit. Dengan memiliki interpretasi sendiri, kita tidak akan terdistraksi terkait interpretasi publik yang berbeda-beda mengenai pesan yang ingin disampaikan oleh Tilik. Bahkan dengan standar sendiri pun kita akan lebih mudah menikmati kualitas film serta menghargai orang-orang dibalik film tersebut. Terkadang, sutradara memang sengaja memberi kita PR untuk memecahkan pesan yang ada pada sebuah film.

INI YANG K̶I̶T̶A̶ EMAK-EMAK BUTUHKAN!

Tilik berhasil menangkap realita kehidupan sehari-hari yang begitu jujur dan membuat siapa pun yang menontonnya merasa dekat. Baik itu soal rumpi-rumpi maupun sikap solidaritas antar ibu-ibu, terlebih bagi kaum ibu-ibu yang mungkin secara nggak langsung punya keterikatan lebih dengan lika-liku ceritanya. Ketika bertemu dengan Bu Tejo dkk, saya merasa sedang menyaksikan kehidupan nyata yang kebetulan dialihwahanakan ke dalam film.

Barangkali memang benar, yang menjadikan film ini diterima dan disukai—bahkan dibenci—banyak orang yakni karakter Bu Tejo yang begitu ceplas-ceplos saat berargumen. Kata-kata yang dipakai pun bikin penonton gregetan, mengingat karakternya dapat temui di sekitar kita. Film pendek ini telah membuktikan bahwa untuk menjadi film yang sukses, tak terlalu perlu skenario yang berbelit atau efek visual yang memukau. Cukup dibuat sederhana agar pesan film sampai pada penonton. Meskipun pesan dalam film ini 'abu-abu', kita juga dapat memetik beberapa hal penting yang sedang terjadi dalam dinamika sosial masyarakat saat ini.


Pada akhirnya, film Tilik menjadi suatu manifestasi 'ketika emak-emak sedang berkumpul'. Layaknya film biografi singkat atas karakter kita, penuh satir dan kritik terhadap budaya sosial masyarakat. Belum pernah ada perjalanan singkat nan sepele dapat diceritakan dengan semenarik ini. Menjadikan salah satu dari momen 30 menit terbaik yang pernah saya saksikan.

SKOR TOTAL : ATTAHIYAT/10



Edo Ricky
Edo Ricky Tergila-gila dengan film sejak mulai bisa berfikir.

Post a Comment for "Review Film Pendek 'TIlik': Bu Tejo Adalah Kita! "