Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review Film 'Di Bawah Umur': Film Sampah

Awalnya ya, saya pikir men-spill kenalakan remaja menjadi langkah yang berani dan mendobrak, minimal kayak "Dua Garis Biru" (2019) deh yang luar biasa bagus.

Namun nyatanya setelah ditonton? Sorry to say, ini film sampah

Everything wrong with "Di Bawah Umur" (2020)

Alih-alih me-review film, saya tak kuasa mengulasnya karna saya tidak menemukan satupun hal positif dari film ini—bukan berarti setiap film wajib memiliki pesan moral ataupun hal-hal pencitraan lainnya, nggak seperti itu. 

Setidaknya dalam suatu karya film, memiliki substansi atau nilai-nilai yang disampaikan ke penonton secara segmented maupun universal, dan Di Bawah Umur tidak memiliki semua hal itu. 

jadi kalini saya akan j̶u̶l̶i̶d̶ menjabarkan semua 'dosa-dosa' yang terkandung dalam film Indonesia berjudul "Di Bawah Umur".

SPOILERS!! DUH..

  • Hal-hal dalam film ini yang dikiranya 'sweetyy' namun nyatanya 'creepy', contoh: melanggar etika privasi. Dua sejoli yang belum terlalu kenal, tapi si cowo udah main nyelinap aja ke kamar si cewe tanpa izin! bahkan 'meneror' juga lho. Dan hal itu dianggap sweet sama si cewe, like WTF?? sebebas-bebasnya Netflix pun mungkin nggak berani maksa masukin kenakalan remaja dan unsur creepy di tiap frame dan tiap menitnya kaya film ini. Takut aja entar anak sekolahan nonton ini dan mulai menguntit ke kamar cewenya diem-diem beranggapan hal itu romantis? No, man.. That's not cool. More like psycho. Creepy banget serius.
  • Kemistri romansa antara Aryo (Angga Yunanda) dengan Lana (Yoriko Angeline) kerasa sangat hampa, nggak natural. Aryo berupaya keras untuk terlihat seperti Dilan wannabe, tapi nonsense. Begitu juga dengan Lana, nggak punya alasan yang kuat mengapa dia disukai. Character development mereka bener-bener kosong.
  • "BISA DIPAKE NGGAK?" sebuah line dialog yang diulang-ulang terus dari figur cowo yang dilontarkan ke cewe, seakan-akan masalah anak SMA itu isinya ng*we mulu. Padahal banyak permalahan anak SMA lainnya yang bisa diselipin, kayak ujian nilai ngepas disuruh remed sama Guru, malah hasil remednya lebih jelek *sori curhat.
  • Murid ngegombal gurunya dengan kata-kata yang agak 'melecehkan', dan gurunya terkesima? Mau muntah saya.
  • Mesum di toilet pada saat di jam pengajian? Nggak ngerti lagi dah. Belum lagi Ustadznya dilontarin pertanyaan yang kurang ajar sama murid-muridnya.
  • Semua joke garing. Even joke 'jomblo' yang udah basi ajapun masih dianggap lucu disini.
  • Musik latar nggak nyambung, makin ngejelekin suasana. Pelit banget dah ngasi soundtrack.
  • Plot twist nggak guna, nggak ngaruh sama sekali ke pengembangan karakter. Udahlah di act 1 plot ceritanya mutar-mutar amburadul, act 2 isinya filler, eh babak akhir makin nggak jelas gini. Sutradaranya kelihatan kayak bingung mau bawa film ini kemana.
  • Penggambaran anak SMA yang membingungkan sekaligus menyedihkan. Niat nonton ini pengen nostalgia, tapi malah jadi mikir "SMA gw dulu nggak gini-gini amat dah". Emang setelah nonton ini bakal ada yang relate apa? Sebandal-bandalnya anak SMA, mungkin nggak sampai tahap semengerikan ini kali ya.
  • Oh iya, Angga Yunanda nggak cocok jadi badboy, cringe sumpah *jadi goodboy aja nggak bener xixi. Aura badboy di perfilman Indo tetap Iqbal Dilan atau Jefri Nichol dah yang megang. Pesan untuk Angga: kamu itu aktor bagus dan potensial, lain kali main film yang kayak Dua Garis Biru lagi ya, jangan asal terima main di film ampas kaya gini.
  • Disney+ Hotstar paling ketat kalau udah urusan sensor-menyensor, KPI pun kalah. Tapi di film ini jelas ada nampilin payudara yang BOING BOING tapi malah dibiarin. Ta-tapi kayaknya lebih bagus lagi kalau filmnya dipotong 80 menit deh. Filler-nya kebanyakan sampai 80 menit soalnya. Cukup tinggalin 10 menit 'pertoketan' aja harusnya. Singkat, padat, dan tepat sasaran.

KESIMPULAN

Pada akhirnya, film Di Bawah Umur seolah-olah ingin membuat pernyataan bahwa anak SMA bisa 'seburuk' itu. Jika dipikir-pikir, memang sih di jaman sekarang ini udah ada pergeseran nilai dalam pergaulan para remaja. Di Bawah Umur menampilkan beberapa penyimpangan tersebut mulai dari remaja yang ke diskotik, tidak sopan pada guru, jajan di dunia malam sampai hamil diluar nikah.

Saya bukannya ingin men-judge semua kebiasaan mereka karena saya nggak mau jadi polisi moral, dan saya juga memiliki prinsip dimana orang boleh melakukan apapun yang mereka inginkan selama tidak membahayakan orang lain.

Tapi, ada tapinya. Saya sama sekali nggak paham kemana arah film ini. Selain tentang Libido, film ini juga 'menderita' di writing yang buruk dan fokus plot yang berantakan. Apalagi menilik kandungan isi filmnya, film ini tidak akan saya sarankan untuk para remaja yang sedang dalam tahap bandel-bandelnya karena film ini adalah sebuah kesalahan, mereka memberikan sebuah konteks tapi tidak sepaket dengan solusinya. Film ini bukan acuan yang baik untuk mengenal "Kenakalan Pada Remaja"

Memang film ini menceritakan 'kenakalan pada remaja' dengan totalitas, iya totalitas gobloknya. Intinya sih, film Di Bawah Umur tidak direkomendasikan buat kalian yang merasa 90 menit kalian adalah 90 menit paling berharga di seluruh dunia.

SKOR TOTAL : 1/10

Edo Ricky
Edo Ricky Tergila-gila dengan film sejak mulai bisa berfikir.

Post a Comment for "Review Film 'Di Bawah Umur': Film Sampah"